Di tengah reruntuhan desa yang belum sepenuhnya pulih, warga Kfarnbouda, Suriah, menemukan cara untuk menghibur diri dan menghidupkan kembali semangat kebersamaan. Mereka tidak sekadar menunggu pembangunan, melainkan menciptakan suasana hidup yang menguatkan hati, meski kondisi fisik desa masih jauh dari sempurna.
Momen itu terlihat dalam sebuah video berjudul "كفرنبودة تستذكر شاعر المخيمات نادر شاليش" yang diunggah ke media sosial. Video tersebut menampilkan warga yang berkumpul di depan rumah penyair legendaris Nader Shalish, yang sudah empat tahun wafat. Rumah itu kini hancur, namun kenangan terhadap sosoknya tetap hidup dalam hati masyarakat.
Meski bangunan di sekitar mereka masih penuh bekas perang, warga terlihat larut dalam obrolan dan puisi, mengingat kembali karya-karya Nader Shalish. Sosok yang dikenal sebagai “Penyair Kamp Pengungsi” itu meninggalkan jejak mendalam pada rakyatnya, khususnya mereka yang pernah merasakan hidup sebagai pengungsi.
Suasana sederhana namun penuh makna itu menjadi bentuk hiburan tersendiri bagi warga yang telah lama merindukan kehidupan normal. Berkumpul bersama, berbagi cerita, dan mengenang tokoh yang dihormati, memberi mereka rasa memiliki yang belum sempat dihapus oleh konflik panjang.
Bagi warga, mengenang Nader bukan hanya soal mengingat orang yang telah tiada. Lebih dari itu, kegiatan tersebut menjadi simbol bahwa kehidupan budaya dan sosial tidak boleh mati, meski bangunan desa belum tegak kembali.
Banyak yang menilai kegiatan seperti ini adalah bagian penting dari proses penyembuhan. Desa yang hancur bisa diperbaiki dengan waktu dan dana, tetapi jiwa masyarakat harus segera dipulihkan agar mereka bisa bertahan menghadapi masa sulit.
Salah seorang warga mengatakan, Nader Shalish tidak pernah mendapatkan pengakuan yang layak semasa hidupnya. Namun, dengan mengenangnya bersama-sama, setidaknya mereka memberikan penghargaan yang tertunda, sembari menyalakan api semangat di tengah kehancuran.
Kegiatan ini juga menjadi bentuk perlawanan damai terhadap kesedihan. Dengan cara berkumpul, tertawa, dan berpuisi, mereka menolak untuk larut dalam rasa kehilangan, sekaligus menegaskan bahwa desa mereka belum mati.
Peringatan itu berlangsung hangat, dengan anak-anak dan orang tua sama-sama hadir. Anak-anak yang belum sepenuhnya memahami siapa Nader, tetap larut dalam kegembiraan suasana, menandakan bahwa generasi baru desa itu terus tumbuh meski dalam keterbatasan.
Meski rumah penyair yang menjadi titik berkumpul sudah rata dengan tanah, warga menganggapnya sebagai panggung simbolis. Dari sana mereka mengirim pesan bahwa nilai kebersamaan tidak bisa dihancurkan oleh bom atau peluru.
Warga juga mengungkapkan harapan agar kegiatan semacam ini tidak berhenti hanya pada peringatan Nader. Mereka ingin tokoh lain yang berjasa bagi masyarakat juga mendapatkan momen penghormatan, agar kisah mereka tidak hilang begitu saja.
Suara-suara puisi yang dilantunkan pada peringatan itu seolah menjadi jembatan antara masa lalu yang pahit dengan masa depan yang ingin mereka bangun. Kata-kata penyair yang dulu menggugah di kamp pengungsian kini kembali hidup di tengah desa.
Salah seorang peserta acara menuturkan bahwa momen ini membuatnya merasa kembali memiliki rumah. “Desa kami mungkin hancur, tapi jiwa kami tidak. Dan selama jiwa itu hidup, desa ini akan bangkit,” ujarnya.
Dari wajah-wajah yang hadir, terlihat bahwa hiburan bukan semata datang dari musik atau perayaan besar, melainkan dari rasa kebersamaan. Kehangatan itu jauh lebih berharga dibandingkan kemegahan yang sulit mereka raih sekarang.
Mereka sadar, pembangunan desa tidak bisa terjadi dalam semalam. Namun menghidupkan suasana kebersamaan bisa dilakukan setiap hari, tanpa menunggu bantuan datang.
Dalam suasana seperti ini, warga Kfarnbouda telah membuktikan bahwa kekuatan sosial dan budaya bisa menjadi pondasi awal pembangunan fisik. Tanpa kebersamaan, pembangunan hanya akan melahirkan bangunan kosong tanpa jiwa.
Penghormatan terhadap penyair kamp pengungsi itu pun menjadi simbol bahwa seni dan sastra tetap hidup di tengah krisis. Masyarakat yang menjaga budaya mereka, sejatinya sedang menjaga peradaban mereka sendiri.
Kegiatan tersebut juga menjadi contoh positif bagi desa-desa lain yang mengalami nasib serupa. Bahwa meski kondisi material masih terbatas, selalu ada cara untuk menghibur diri, menyatukan hati, dan memelihara harapan.
Kini, Kfarnbouda bukan hanya desa yang berusaha pulih dari reruntuhan. Ia juga menjadi simbol keteguhan rakyat Suriah dalam menolak tunduk pada kehancuran, memilih bangkit dengan cara sederhana, namun penuh arti.
Di balik kesederhanaan peringatan itu, lahirlah sebuah pesan kuat: kehidupan harus terus berjalan, dan harapan harus tetap dinyalakan. Dari puisi Nader Shalish, masyarakat Kfarnbouda belajar bahwa meski dunia runtuh, kata-kata dan kebersamaan mampu menyatukan kembali jiwa yang tercerai-berai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar