Palestina dan Bandara yang Hilang Harapan - Islam di Amerika

Post Top Ad

Palestina dan Bandara yang Hilang Harapan

Palestina dan Bandara yang Hilang Harapan

Share This
Di era Ottoman, Palestina bukanlah wilayah yang terbelakang. Sebaliknya, tanah ini memiliki jaringan pendidikan, perdagangan, serta budaya yang cukup maju. Kota-kotanya menjadi pusat pertemuan pedagang dan cendekiawan, menjadikan Palestina bagian penting dari mozaik peradaban Timur Tengah. Namun, semua itu berubah drastis ketika kekuatan kolonial datang membawa politik baru yang merusak tatanan sosial yang sudah lama terbentuk.

Ketika Inggris memasuki wilayah ini dengan mandatnya, mereka tidak hanya mengatur pemerintahan sementara, melainkan juga melakukan rekayasa demografi. Tanah yang sebelumnya harmonis dalam keberagaman justru dipecah oleh kebijakan yang secara perlahan mengikis keseimbangan masyarakat lokal. Politik ini membuka jalan bagi konflik panjang yang sampai kini masih menghantui rakyat Palestina, dimulai dari An Nakba dan terus berlanjut sampai sekarang.

Rasa kehilangan itu kian nyata ketika Yasser Arafat, presiden pertama Palestina, berusaha membangun simbol kemerdekaan melalui Bandara Internasional Gaza. Bandara itu bukan sekadar infrastruktur, tetapi juga lambang pengakuan bahwa Palestina berhak terhubung dengan dunia. Sejak diresmikan pada 2 November 1998, bandara itu menjadi semacam mercusuar harapan bagi jutaan warga.

Bandara tersebut diberi nama Bandara Internasional Yasser Arafat. Kehadirannya membuat banyak orang Palestina merasa seolah mimpi tentang negara merdeka mulai menampakkan wujud. Mereka membayangkan bisa bepergian tanpa harus melalui pemeriksaan berlapis dan pembatasan yang melelahkan. Dari pilot hingga pramugari, semua percaya bahwa bandara itu adalah pintu menuju masa depan yang lebih baik.

Namun, sejak awal, rencana pembangunan bandara sudah penuh dengan kompromi. Karena digagas di pengasingan, segala perizinan harus berurusan dengan pihak Israel. Koordinasi keamanan kerap menjadi alasan penundaan, membuat impian itu rapuh sejak awal. Walau akhirnya berdiri megah, bandara itu dibangun dengan bayang-bayang pembatasan yang terus menghantui.

Situasi semakin rumit ketika gelombang Intifada pecah di awal 2000-an. Damai yang sempat terasa di musim panas 2000 mendadak runtuh. Israel terus membantai warga Palestina, sementara rakyat Palestina merasa hak mereka kembali ke rumah masing-masing diinkari. Yang terlanjur kembali juga dipersekusi setiap hari. Ketegangan berubah menjadi konfrontasi terbuka, dan bandara menjadi salah satu korban dari lingkaran kekerasan ini.

Bandara yang seharusnya menghubungkan Gaza dengan dunia, justru sering ditutup secara tiba-tiba. Ada kalanya dibuka sebentar, lalu ditutup lagi tanpa kepastian. Para penumpang yang hendak berobat ke luar negeri atau menuntut ilmu di universitas asing sering kali terjebak dalam kebingungan dan kekecewaan. Infrastruktur yang dibangun dengan penuh harapan itu akhirnya tak berdaya menghadapi realitas politik.

Hanya dalam waktu empat tahun sejak diresmikan, bandara itu praktis berhenti beroperasi. Pesawat-pesawat Palestina kembali harus lepas landas dari El Arish, Mesir, menggunakan bus untuk menempuh perjalanan darat sebelum bisa terbang. Simbol kebanggaan itu berubah menjadi monumen kesedihan yang sunyi.

Bagi rakyat Palestina, penutupan bandara bukan hanya soal transportasi. Itu adalah pesan bahwa setiap kali mereka mencoba membangun masa depan sendiri, ada tangan kekuasaan yang menghancurkan. Seolah-olah kemerdekaan hanyalah fatamorgana yang tak pernah bisa mereka genggam.

Tidak heran jika muncul pertanyaan: apakah ini yang disebut “kebaikan yang tak waspada akan menjadi kutukan”? Palestina membangun dengan niat baik, dengan semangat rekonsiliasi dan harapan. Tetapi justru, niat itu dimanfaatkan oleh pihak lain untuk menunjukkan dominasi.

Pilot, kru, hingga staf bandara yang dahulu penuh semangat kini tercerai-berai. Jamal Mohammed, seorang kapten senior, memilih beremigrasi ke Australia untuk mencari ketenangan. Abed Elias, pilot muda, menetap di Florida demi melanjutkan lisensi penerbangannya. Pramugari Nadia tetap tinggal di Gaza, menggantungkan harapan pada langit yang tak lagi ramah.

Ironisnya, bandara yang pernah dibangun dengan dukungan internasional kini hanya tinggal reruntuhan. Landasan pacu yang dulu menyambut pesawat dari berbagai negara berubah menjadi jalur kosong yang ditutupi debu. Dunia seakan memilih melupakan bahwa Palestina pernah punya pintu menuju dunia luar.

Kisah bandara ini sesungguhnya cerminan perjalanan rakyat Palestina. Mereka pernah merasakan kemajuan, pernah mencoba membangun, namun terus dihantam oleh kebijakan dan kekerasan yang lebih besar dari kemampuan mereka melawan.

Dalam konteks sejarah panjang, penderitaan Palestina bukanlah akibat kelemahan mereka, melainkan hasil dari intervensi dan rekayasa geopolitik. Inggris meninggalkan jejak pahit lewat politik demografi, Israel menambah luka dengan penghancuran simbol-simbol kedaulatan, dan dunia sering kali bungkam dalam ketidakpedulian.

Namun, harapan tak pernah sepenuhnya padam. Meski bandara telah hilang, rakyat Palestina tetap menatap masa depan. Anak-anak yang tumbuh di Gaza masih bercita-cita menjadi pilot, insinyur, atau dokter. Bagi mereka, kehancuran hanyalah episode sementara, sementara impian merdeka tetap hidup.

Bandara Internasional Gaza yang kini menjadi puing bukan hanya simbol kegagalan, melainkan juga pengingat betapa kerasnya perjuangan sebuah bangsa untuk berdiri sendiri. Setiap batu yang runtuh menyimpan cerita keteguhan hati rakyat yang menolak menyerah.

Sejarah Palestina menunjukkan bahwa bangsa ini bukan bangsa yang pasif. Mereka berulang kali mencoba bangkit, meski dunia berkali-kali menekan mereka ke tanah. Dari masa Ottoman hingga kini, mereka tetap berjuang untuk mempertahankan hak yang paling mendasar: hidup merdeka di tanah sendiri.

Apakah dunia akan terus menutup mata terhadap kisah ini? Apakah kehancuran bandara hanyalah awal dari hilangnya simbol-simbol lain? Pertanyaan itu masih menggantung, namun satu hal pasti: rakyat Palestina akan terus melawan lupa.

Pada akhirnya, kisah Bandara Yasser Arafat bukan hanya tentang sebuah infrastruktur, tetapi tentang martabat sebuah bangsa. Meski dihancurkan, bandara itu tetap hidup dalam ingatan kolektif sebagai bukti bahwa Palestina pernah bermimpi besar. Dan selama mimpi itu masih ada, harapan tak akan pernah benar-benar mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages